Pada zaman dahulu
kala di sebuah rumah kecil di sebuah desa hiduplah seorang ibu mertua dan
menantu perempuannya. Menantunya tersebut adalah seorang perempuan yang rajin
bekerja dan selalu mematuhi perkataan sang ibu mertua.
Suatu malam
menjelang tahun baru, ibu mertua berpesan kepada menantunya agar menjaga api di
tungku agar tetap menyala sepanjang tahun baru. Setelah itu, ibu mertua pergi
tidur lebih dulu. Menjelang tengah malam, menantunya yang berbaring di dekat
tungku perapian terbangun. Ia mendapati api di tungku telah padam. Ia menjadi
gugup, lalu segera pergi ke gudang untuk mengambil kayu bakar. Namun, ternyata
di gudang juga tidak terdapat kayu bakar lagi. Saat itu adalah musim dingin.
Suhu udara di luar rumah sangat dingin. Namun karena ia harus segera
mendapatkan kayu bakar dan api, maka ia pun segera pergi ke luar rumah untuk
mencari ranting dan dahan kayu kering.
Ia menyusuri sungai
di dekat rumahnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Setelah terkumpul banyak, ia
kini kebingungan dimana mencari api. Di sekitar rumahnya tidak ada rumah
penduduk lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menyusuri sungai
tersebut. Mungkin ia akan bertemu dengan orang yang bisa memberinya api.
Beberapa saat setelah ia berjalan, ia melihat suatu titik api di dekat jembatan
yang melintasi sungai. Dengan penuh harap ia meneruskan langkahnya menuju titik
api tersebut. Setelah dekat dengan asal titik api tersebut, ia melihat kurang
lebih enam orang tua yang sedang duduk mengelilingi api unggun. Ia pun
memberanikan diri menyapa mereka.
“Selamat malam!”
sapa sang menantu.
“Selamat malam!”
balas mereka.
“Maaf, bolehkah saya
meminta api untuk menyalakan kayu di tungku perapian rumah kami?”
“Boleh saja. Silakan
ambil sebanyak kau perlukan”
“Terima kasih
sekali!”
“Tapi sebenarnya
kami juga ingin minta tolong”
“Apa yang bisa saya
bantu? Silakan katakan saja”
“Ehm… sebenarnya,
salah seorang teman kami baru saja meninggal. Malam-malam begini kami kesulitan
mencari kuil untuk menguburkannya. Maukah anda membawanya pulang? Besok pagi
kami akan mengambilnya kembali”
“Oh… saya turut
berduka cita…” kata sang menantu dengan sedih. Karena merasa sudah dibantu
mendapatkan api, maka ia pun menyanggupi permintaan mereka. Akhirnya dengan
menyeret tubuh orang yang sudah meninggal itu ia pun segera pulang. Sesampainya
di rumah ia segera menuju gudang dan meletakkan bungkusan tubuh orang yang
meninggal itu di gudang. Agar tidak ketahuan ibu mertuanya, maka ia meletakkan
tumpukan jerami di atasnya. Kemudian ia segera ke tungku perapian di rumah dan
menyalakan kembali apinya.
Keesokan harinya
adalah tahun baru. Sang menantu dan ibu mertuanya sibuk menyiapkan masakan
tahun baru. Mereka akan memasak berbagai masakan lezat untuk menyambut tahun
baru. Saat itu sang menantu kebetulan pergi ke sungai untuk mengambil air,
sedangkan sang ibu mertua memasak di dapur. Namun, ketika kayu di perapian
mulai habis, ia segera pergi ke gudang hendak mengambil kayu bakar. Saat ia
hendak mengambil kayu bakar dan sedikit jerami untuk menambah besar api di
tungku ia melihat tumpukan jerami yang aneh. Ketika ia mencoba membuka tumpukan
jerami itu, tiba-tiba ia sangat terkejut. Ternyata dari dalam tumpukan tersebut
tersimpan banyak sekali kepingan emas. Ibu mertua sangat terkejut dan bercampur
senang. Ia lalu memanggil menantunya untuk menanyakan hal tersebut.
Sang menantu pun menceritakan kejadian malam tahun baru
saat ia bertemu dengan enam orang tua tersebut. Ternyata enam orang tua dan
satu orang temannya yang telah meninggal itu adalah ke-7 Dewa Keberuntungan
yang selalu datang ke bumi saat menjelang tahun baru. Mereka pun lalu
memanjatkan rasa syukur kepada para dewa di langit.
Judul asli: Ootoshi
no Hi (Api Tahun Baru) yang berasal dari Prefektur Kyoto. Dalam kebudayaan
Asia Timur, termasuk Jepang, Tujuh Dewa Keberuntungan ini selalu diharapkan
kedatangannya saat tahun baru
Sumber: dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment