Pada jaman dahulu kala, di sebuah
desa ada seorang pemuda yang rajin dan baik hati. Suatu hari, ketika sang
pemuda hendak pergi untuk bekerja, ia melihat beberapa anak sedang mencoba
menangkap seekor belut putih. Di tangan mereka tergenggam tongkat kayu yang
sekali-kali diayunkan untuk memukul belut tersebut. Sejenak sang pemuda
berhenti dan mendekati anak-anak tersebut. Karena merasa kasihan, sang pemuda
berkata kepada anak-anak itu, “Jangan mengganggu binatang. Belut itu juga
makhluk hidup seperti kita. Biarkan dia pergi!”. Anak-anak itu pun berhenti
seketika. Dengan perasaan dongkol mereka pun pergi meninggalkan tempat itu.
Demikian juga sang belut pergi ke arah genangan air di sawah. Sang pemuda pun
pergi melanjutkan perjalanannya.
Malam harinya, ketika sang pemuda
hendak bersiap-siap untuk tidur, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. “Tok..
tok”. Sang pemuda heran, tidak biasanya malam-malam begini ada tamu yang datang
ke rumahnya. Akhirnya ia pun membuka pintu rumahnya. Bukan main terkejutnya
sang pemuda, ternyata di hadapannya telah berdiri seorang gadis yang cantik
jelita.
“Selamat malam. Mohon maaf
sebelumnya. Saya sedang tersesat dan kemalaman di jalan. Bolehkah saya
menumpang istirahat barang satu malam di rumah tuan?” pinta sang gadis.
“Silakan masuk!” kata sang pemuda
dengan gugup. Malam itu sang gadis pun menginap di rumah sang pemuda.
Keesokan paginya, sang gadis
berkata kepada sang pemuda, “Sebenarnya saya sudah tidak mempunyai orang tua
dan sanak saudara lagi. Saya hidup sebatang kara dan tidak punya rumah untuk
pulang. Tolong ambil saya sebagai istri tuan. Saya akan bekerja keras setiap
hari untuk membantu tuan” kata sang gadis. Mendengar hal itu sang pemuda merasa
iba. Akhirnya ia dan gadis itu menikah. Mereka hidup dengan bahagia dan
dikaruniai seorang bayi laki-laki yang lucu.
Pada suatu hari, pekerjaan sang
pemuda di ladang telah selesai lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Ia pun
berniat pulang lebih cepat dari biasanya. Ketika sampai di rumah, ia melihat
suasana sangat sepi dan pintu rumah juga terkunci rapat. Karena merasa curiga
maka ia coba melihat keadaan di dalam rumah dari jendela di kamarnya. Bukan
main terkejutnya saat sang pemuda melihat pemandangan di dalam kamarnya. Ia
melihat seekor binatang yang menyerupai belut sedang melingkarkan
tubuhnya di lantai kamar. Di tengah-tengahnya tergeletak sang bayi. Lidah
binatang yang berwarna merah itu menjulur menjilati tubuh sang bayi. Anehnya
sang bayi justru merasa senang dan tidak takut. Sang pemuda sangat ketakutan
dan lari menginggalkan rumahnya. Ia berpikir bahwa belut besar di kamarnya tadi
tidak lain adalah jelmaan istrinya sendiri. Namun untuk memastikan dugaannya
itu, sore harinya ia kembali pulang ke rumahnya. Sesampai di depan rumahnya ia
melihat istrinya sedang menggendong sang bayi. Seperti tidak terjadi apa-apa ia
lalu makan malam bersama sang istri.
Namun, sang istri ternyata tahu
bahwa suaminya telah melihat wujud aslinya. Sang istri pun berkata, “Suamiku,
akhirnya engkau telah melihat wujud asliku siang tadi. Sebenarnya aku adalah
jelmaan belut yang telah kau tolong dari gangguan anak-anak setahun yang lalu.
Aku ingin sekali membalas budimu. Namun, karena engkau telah melihat wujud
asliku, maka aku tidak dapat hidup lagi bersamamu. Aku harus pergi. Tapi bayi
kita adalah bayi manusia, maka engkau harus memeliharanya dengan baik” kata
sang istri sedih. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bola putih kecil dan
memberikannya kepada suaminya.
“Kalau bayi kita menangis karena
haus atau lapar berikan bola ini agar ia dapat menghisapnya. Ia tidak akan
menangis lagi” kata istrinya berpesan.
Setelah mengatakan hal itu, sang
istri pun pergi keluar rumah. Sang suami dengan sedih mencari-carinya, namun
sang istri sudah lenyap di kegelapan malam.
Sejak saat itu sang suami
membesarkan bayinya seorang diri. Sesuai pesan istrinya, ia membiarkan sang bayi
menghisap dan mengulum bola putih yang lentur itu. Bayi itu terus tumbuh dengan
sehatnya. Tidak pernah sekalipun sang bayi jatuh sakit. Kehebatan bola putih
itu terdengar ke seluruh wilayah, hingga sampai ke telinga sang penguasa
wilayah. Akhirnya bola putih itu pun diambil secara paksa oleh sang penguasa.
Dan sejak saat itu juga sang bayi mulai mengangis tak henti-hentinya. Bukan
main bingungnya sang suami. Ia pun berjalan menyusuri hutan untuk mencari
istrinya. Setelah lama berjalan, akhirnya ia tiba di sebuah danau. Dengan putus
asa ia berteriak.
“Wahai istriku, sejak kepergianmu
sungguh merana hidupku. Kalau memang engkau ada disini, tunjukkanlah dirimu.
Aku ingin berjumpa denganmu!” katanya dengan pilu.
Tiba-tiba permukaan air danau
tersebut bergelombang, dan dari dalamnya mucul seekor belut yang sangat besar.
“Apa kabar suamiku? Apa yang
membuatmu bersedih hati?” tanya belut tersebut. Akhirnya sang suami
menceritakan tentang bola putih pemberian istrinya yang telah diambil oleh sang
penguasa.
“Suamiku, bola putih itu
sebenarnya adalah bola mataku sendiri. Ia berguna sebagai pengganti air susu
bagi bayi kita. Kalau aku berikan bola mata satu lagi, aku tidak akan bisa
melihat lagi” kata sang belut.
“Tolonglah istriku, anak kita
menangis tiada henti-hentinya” kata sang suami.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan
berikan bola mata yang satunya. Tapi kau harus berjanji. Agar bola mata ini
tidak diambil orang lain, bawalah bayi kita dan pergi jauh-jauh dari desa” kata
sang belut sambil memberikan sebutir bola putih.
“Terima kasih istriku. Jagalah
baik-baik dirimu!” ucap sang suami dengan meneteskan air mata.
“Jagalah dirimu dan rawat
baik-baik anak kita!” kata sang belut.
Setelah mengucapkan salam
perpisahan, sang belut kembali ke dasar danau, dan suaminya pun pulang dengan
hati yang sangat sedih.
Setelah sampai di rumahnya, ia
segera mengumpulkan barang perbekalannya lalu pergi meninggalkan desa tersebut
bersama sang anak yang masih kecil. Beberapa waktu kemudian di wilayah desa
tersebut timbul gempa bumi yang sangat hebat. Semua bangunan hancur, termasuk
istana sang penguasa yang telah mengambil paksa bola mata milik sang belut.
Sang penguasa sendiri pun mati akibat tertimpa reruntuhan bangunannya.
Demikianlah, menurut kepercayaan tradisional masyarakat Jepang, gempa bumi
diakibatkan oleh belut raksasa yang bergerak di dalam tanah. Belut itu menabrak
benda di sekelilingnya karena tidak mempunyai mata lagi untuk melihat.
Judul asli: Mekura no Mizu no
Kami (Dewi Air yang Tidak Bisa Melihat) berasal dari Prefektur Saga.
Sumber: dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment